Seseorang yang sedang marah sering menunjukkan
perilaku umum yaitu bersuara keras,
bahkan memaki-maki diri sendiri, membentak-bentak objek kemarahan, atau
berteriak-teriak sambil merusak barang-barang di sekitarnya. Bahkan, kalaupun
pada saat marah dia diam seribu bahasa,
hati sebenarnya juga berteriak-teriak meskipun tak terdengar oleh orang lain.
Teriakan suara hati ini juga bisa dikategorikan sebagai bersuara
keras.
Ada pertanyaan,
mengapa saat seseorang marah ia
bersuara keras, padahal orang-orang yang menjadi sasaran kemarahan berada tak
jauh? Bukankah sebenarnya cukup bersuara dengan volume sedang atau pelan pada
saat “menyampaikan” kemarahan, karena toh orang-orang yang dimarahi tidaklah tuli?
Kata
orang bijak “Ketika dua orang sedang
berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat
jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai
jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka
menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun
menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih
keras lagi. Sebaliknya, ketika dua orang saling jatuh cinta maka
mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang
keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apa pun,
keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak sehingga sepatah
katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat
mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan.”
Artinya, kemarahan bisa membentangkan jarak menjadi
jauh antara hati seseorang dengan hati orang-orang yang dimarahi. Hal ini
ditandai dengan suara keras yang diperdengarkan. Logikanya cukup sederhana,
suara yang keras diperlukan untuk menyampaikan pesan kepada orang yang berada
relatif jauh. Kalau ia berada dekat tentu cukup dengan bersuara pelan saja.
Nah, dalam kondisi marah, suara keras membuat hati seseorang terasa jauh dari
hati orang yang dimarahi meskipun secara fisik keduanya berdekatan.
Semakin keras seseorang yang
marah membentak, maka jarak yang
membentang diantara keduanya semakin lebar. Efek emosional dari bentangan jarak
itu adalah rasa geram yang semakin membesar kepada objek kemarahan seiring
detik demi detik yang dilalui ketika seseorang sedang marah.
Insya Allah kondisi yang terjadi
adalah sebaliknya jika seseorang bisa
mengendalikan suara yaitu lebih memilih
bersuara lembut saat kemarahan datang. Suara lembut ini dapat mendekatkan
kembali dua hati manusia yang bergerak
menjauh saat dilanda banjir amarah.
Pada akhirnya, kemarahan tersebut ditutup dengan pemaafan, keridhaan,
dan rasa cinta. Dalam suasana tenang pun suara lembut ini menjadi lambang
cinta. Lihat saja seorang suami yang sedang menyatakan cinta kepada istrinya.
Suaranya begitu lembut, pelan, dan bahkan sampai tak terdengar. Walaupun tak
terdengar sang istri tetap dapat merasakan dan memahami curahan cinta itu,
cukup dengan menatap mata sang suami. Dan begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan hati mereka menjadi
sangat dekat satu sama lain.
Dikutip dan disarikan dari :
http://heartofalfikr.wordpress.com/2007/11/24/bentang-di-antara-dua-hati/
TUNTUNAN
AL-QUR’AN :
"Dan
sebutlah (Nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut
(pada siksaan-Nya), serta tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang. Dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai. " (QS.
Al-A'raaf: 205)
“Sederhanalah
kamu dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai”. (QS Luqman : 19).
(disampaikan oleh Kunarso di depan Jamaah Qiyam
Ramadhan 1433 Hijriyah pada tgl. 25 Juli 2012 di Sekretariat Panitia Pembangunan Masjid Nuruz Zaman Kompleks Muhammadiyah Loa Bakung, Samarinda)
Simak lebih lanjut di
http://azkuna.blogspot.com dan
facebook http://www.facebook.com/azkuna